lalu kita mengutuk hujan yang datang begitu cepat
terowongan tak bisa dilalui
mantra mati ditanganmu
seperti penantian yang tak diharap
matamu layu
hujan menari
membasuh kata memercik rupa
mendung seperti sepatu
dalam kesal yang diinjaknya
tak ada surat yang selip
mengundang perjamuan
maaf, tagihan kredit belum terjamah
lalu kita rindu bermain hujan
berteriak dengan lantang dan menjadi pohonan
berlari tanpa mimpi
kenangan telah hanyut
pagi yang hujan dipenuhi geram
tawar dan hambar
gemetar dalam sangkar
kau terkapar
iya, aku bermain hujan
dan berlarian di halaman
hujan berjatuhan
mataku ditawan
di rumah kata penyair berhamburan
kau menulis puisi di daun kering
telpon tidak diangkat
sebuah panggilan tak terjawab
kau bergegas ke taman kota
separuh kata meraba
geliatnya di pangkuan
taman penuh noda
bercak hasrat tertinggal
dimana cincin keberuntunganmu?
yang melingkar seperti akar
yang menggumpal seperti batu
mungkin tertinggal di belukar
sekilas rindu datang menendang
taman kota penuh cium
peluhnya mengalir deras
dan pagi penuh keramas
lembar-lembar angin menulis hujan
remah kata mengupas lunas
aku sedang merawat bunga yang berguguran kata-kata
di taman kota
Batam Pos, Minggu 20 Januari 2008