Sudah beberapa hari ini listrik mati
Kami hanya menggerutu dan menyalakan lilin
Lilin sangat cantik ketika menyublim
Terbang dan terbakar oleh api
Menyatu dengan udara
Tak tampak
Api terus saja melahap tubuh lilin
Lalu kami saling menghujat acara tv
Sesekali mata menatap lilin itu
Seperti tak ingin lepas
Seperti ingin terbakar bersama-sama
Tapi hidup terlalu indah untuk dilewatkan
Tetesan lilin berjatuhan
Kami menadahkan jari
Untuk ditetesi
Sensasi panas itu
Perlahan merambat dan hangat
Pontianak Post, Minggu 18 Mei 2008
Selasa, 03 Juni 2008
Senin, 21 April 2008
berlayar
kau menjelma dari getah kerinduan
menggenangi dengan sorot cahaya redup
seutas mendung menengok rupa dan kuncup
sudut giginya meradang kabut
mengunyah seribu hujan
mereguk setetes terik
awan kelabu selimut hati
membakar kebisuan
mendidihkan tubuh
mengelupaskan raga
tanahmu bergoyang
menari bersama retakan gersang
debu jalanan mengepal
mengikuti pijaran api
yang menggeliat gundah
deburannya bergulingan
bersama kerikil ombak
meyakinkan kita untuk berlayar
tandabaca.com (januari 2007)
menggenangi dengan sorot cahaya redup
seutas mendung menengok rupa dan kuncup
sudut giginya meradang kabut
mengunyah seribu hujan
mereguk setetes terik
awan kelabu selimut hati
membakar kebisuan
mendidihkan tubuh
mengelupaskan raga
tanahmu bergoyang
menari bersama retakan gersang
debu jalanan mengepal
mengikuti pijaran api
yang menggeliat gundah
deburannya bergulingan
bersama kerikil ombak
meyakinkan kita untuk berlayar
tandabaca.com (januari 2007)
Pertemuan yang gelisah
Kami bergumul dalam hujan yang sama
Di dalam ruang pertemuan memanjang
Dibakar waktu
Kenangan yang sama mulai bermuntahan
Seperti daun
Daun yang menemanimu tumbuh sumbi
Dan danau purba adalah kota
Kota yang menarik menghempas kesadaranku
Kota-kota yang tercipta semalam
Kau daun itu
Sisa-sisa peradaban terangkum
Dan menjadi sampah yang getir
Di tepi halaman
Ini halaman kita yang sempit
Kau memacu waktu mengeja batu-batu
Menanda keberadaanmu
Dan anjing itu telah disembelih
Terhidang di meja
Hei kalau benang sulammu tak jatuh
e-antologi puisi "Kemayaan dan Kenyataan", Fordisastra.com 2007
Di dalam ruang pertemuan memanjang
Dibakar waktu
Kenangan yang sama mulai bermuntahan
Seperti daun
Daun yang menemanimu tumbuh sumbi
Dan danau purba adalah kota
Kota yang menarik menghempas kesadaranku
Kota-kota yang tercipta semalam
Kau daun itu
Sisa-sisa peradaban terangkum
Dan menjadi sampah yang getir
Di tepi halaman
Ini halaman kita yang sempit
Kau memacu waktu mengeja batu-batu
Menanda keberadaanmu
Dan anjing itu telah disembelih
Terhidang di meja
Hei kalau benang sulammu tak jatuh
e-antologi puisi "Kemayaan dan Kenyataan", Fordisastra.com 2007
Sabtu, 09 Februari 2008
Sebuah Panggilan
lalu kita mengutuk hujan yang datang begitu cepat
terowongan tak bisa dilalui
mantra mati ditanganmu
seperti penantian yang tak diharap
matamu layu
hujan menari
membasuh kata memercik rupa
mendung seperti sepatu
dalam kesal yang diinjaknya
tak ada surat yang selip
mengundang perjamuan
maaf, tagihan kredit belum terjamah
lalu kita rindu bermain hujan
berteriak dengan lantang dan menjadi pohonan
berlari tanpa mimpi
kenangan telah hanyut
pagi yang hujan dipenuhi geram
tawar dan hambar
gemetar dalam sangkar
kau terkapar
iya, aku bermain hujan
dan berlarian di halaman
hujan berjatuhan
mataku ditawan
di rumah kata penyair berhamburan
kau menulis puisi di daun kering
telpon tidak diangkat
sebuah panggilan tak terjawab
kau bergegas ke taman kota
separuh kata meraba
geliatnya di pangkuan
taman penuh noda
bercak hasrat tertinggal
dimana cincin keberuntunganmu?
yang melingkar seperti akar
yang menggumpal seperti batu
mungkin tertinggal di belukar
sekilas rindu datang menendang
taman kota penuh cium
peluhnya mengalir deras
dan pagi penuh keramas
lembar-lembar angin menulis hujan
remah kata mengupas lunas
aku sedang merawat bunga yang berguguran kata-kata
di taman kota
Batam Pos, Minggu 20 Januari 2008
terowongan tak bisa dilalui
mantra mati ditanganmu
seperti penantian yang tak diharap
matamu layu
hujan menari
membasuh kata memercik rupa
mendung seperti sepatu
dalam kesal yang diinjaknya
tak ada surat yang selip
mengundang perjamuan
maaf, tagihan kredit belum terjamah
lalu kita rindu bermain hujan
berteriak dengan lantang dan menjadi pohonan
berlari tanpa mimpi
kenangan telah hanyut
pagi yang hujan dipenuhi geram
tawar dan hambar
gemetar dalam sangkar
kau terkapar
iya, aku bermain hujan
dan berlarian di halaman
hujan berjatuhan
mataku ditawan
di rumah kata penyair berhamburan
kau menulis puisi di daun kering
telpon tidak diangkat
sebuah panggilan tak terjawab
kau bergegas ke taman kota
separuh kata meraba
geliatnya di pangkuan
taman penuh noda
bercak hasrat tertinggal
dimana cincin keberuntunganmu?
yang melingkar seperti akar
yang menggumpal seperti batu
mungkin tertinggal di belukar
sekilas rindu datang menendang
taman kota penuh cium
peluhnya mengalir deras
dan pagi penuh keramas
lembar-lembar angin menulis hujan
remah kata mengupas lunas
aku sedang merawat bunga yang berguguran kata-kata
di taman kota
Batam Pos, Minggu 20 Januari 2008
Langganan:
Postingan (Atom)