Jumat, 08 Oktober 2010

Mesin ATM




begini
begini saja
ATM ini akan memakan kamu

lalu arus pendek

angkanya acak
aku ke dalam mesin ATM itu

tangan yang hijau
meremas-remas mesin

aku lalu gelembung


Jumat, 09 Juli 2010

Meet Me at Braga

aku mencoba duduk di jendela

menikmati lantai dua

sambil berpikir merenggut pinggangmu

kutemui di braga

genggam tanganmu

menjelma ratusan buku

“iya aku di depan landmark

lalu tenggelam dalam pameran buku

belum sempat lagi menemuimu

yang cemberut melulu”

sambil mengulas bibirmu

yang nyangkut di catatan kaki

gerimis, wajahmu, maukah kau lukis

dihamparan andesit yang kita sebrangi

barangkali wali-wali melukis

bangunan tua itu seperti doa

lalu kau potret setiap jendela

yang menghadap ke jalan

kuambil untuk membuka

tubuh kita yang

tanpa nama dan rahasia



Kompasiana, 26 Mei 2010


Selasa, 03 Juni 2008

Listrik Mati dan Sebatang Lilin

Sudah beberapa hari ini listrik mati
Kami hanya menggerutu dan menyalakan lilin
Lilin sangat cantik ketika menyublim
Terbang dan terbakar oleh api
Menyatu dengan udara
Tak tampak
Api terus saja melahap tubuh lilin
Lalu kami saling menghujat acara tv
Sesekali mata menatap lilin itu
Seperti tak ingin lepas
Seperti ingin terbakar bersama-sama
Tapi hidup terlalu indah untuk dilewatkan
Tetesan lilin berjatuhan
Kami menadahkan jari
Untuk ditetesi
Sensasi panas itu
Perlahan merambat dan hangat



Pontianak Post, Minggu 18 Mei 2008

Senin, 21 April 2008

berlayar

kau menjelma dari getah kerinduan
menggenangi dengan sorot cahaya redup

seutas mendung menengok rupa dan kuncup
sudut giginya meradang kabut
mengunyah seribu hujan
mereguk setetes terik

awan kelabu selimut hati
membakar kebisuan
mendidihkan tubuh
mengelupaskan raga

tanahmu bergoyang
menari bersama retakan gersang

debu jalanan mengepal
mengikuti pijaran api
yang menggeliat gundah

deburannya bergulingan
bersama kerikil ombak
meyakinkan kita untuk berlayar



tandabaca.com (januari 2007)

Pertemuan yang gelisah

Kami bergumul dalam hujan yang sama
Di dalam ruang pertemuan memanjang
Dibakar waktu
Kenangan yang sama mulai bermuntahan
Seperti daun
Daun yang menemanimu tumbuh sumbi
Dan danau purba adalah kota
Kota yang menarik menghempas kesadaranku
Kota-kota yang tercipta semalam
Kau daun itu
Sisa-sisa peradaban terangkum
Dan menjadi sampah yang getir
Di tepi halaman
Ini halaman kita yang sempit
Kau memacu waktu mengeja batu-batu
Menanda keberadaanmu
Dan anjing itu telah disembelih
Terhidang di meja
Hei kalau benang sulammu tak jatuh



e-antologi puisi "Kemayaan dan Kenyataan", Fordisastra.com 2007

Sabtu, 09 Februari 2008

Sebuah Panggilan

lalu kita mengutuk hujan yang datang begitu cepat
terowongan tak bisa dilalui
mantra mati ditanganmu
seperti penantian yang tak diharap
matamu layu
hujan menari
membasuh kata memercik rupa
mendung seperti sepatu
dalam kesal yang diinjaknya

tak ada surat yang selip
mengundang perjamuan
maaf, tagihan kredit belum terjamah

lalu kita rindu bermain hujan
berteriak dengan lantang dan menjadi pohonan
berlari tanpa mimpi
kenangan telah hanyut

pagi yang hujan dipenuhi geram
tawar dan hambar
gemetar dalam sangkar
kau terkapar
iya, aku bermain hujan
dan berlarian di halaman
hujan berjatuhan
mataku ditawan

di rumah kata penyair berhamburan
kau menulis puisi di daun kering

telpon tidak diangkat
sebuah panggilan tak terjawab

kau bergegas ke taman kota
separuh kata meraba
geliatnya di pangkuan
taman penuh noda
bercak hasrat tertinggal

dimana cincin keberuntunganmu?
yang melingkar seperti akar
yang menggumpal seperti batu
mungkin tertinggal di belukar

sekilas rindu datang menendang
taman kota penuh cium
peluhnya mengalir deras
dan pagi penuh keramas

lembar-lembar angin menulis hujan
remah kata mengupas lunas
aku sedang merawat bunga yang berguguran kata-kata
di taman kota


Batam Pos, Minggu 20 Januari 2008

Jumat, 14 Desember 2007

Malam Ini Aku Ingin Menjadi Penyair

Malam, aku bukan seorang romantis
Yang akan melakukan apapun demi cinta
Karena keresahan itu telah menggelayut dan bertengger
Beberapa ujarmu yang terurai menandaskan puisi-puisiku
Menjadi baris-baris tanpa makna
Aku seakan terpana menatap lembayung yang muncul dari hidungmu
Tak ragu lagi akan kutulis menjadi puisi yang indah
Tapi sekali lagi puisiku makin kandas
Menjadi bait-bait kosong
Haruskah kutulis kegaduhan yang berlalu
Tapi kertas ini tak hendak digoreskan oleh pena
Akupun menggelepar di lantai
Kutulis dalam setiap keramik dengan jemari
Begitu landai dan tertatah sebuah ketololan
Seakan paragraf-paragrafnya menyeringai
Malam, aku harus menuntaskan puisiku


Bandar Lampung 2006
Khazanah Pikiran Rakyat, Sabtu, 12 Agustus 2006